Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

ibnul Qoyyim

Nama Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H / 1292–1350 M) menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Ia adalah murid utama dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan dikenal sebagai salah satu penerus sekaligus pengembang paling produktif dari pemikiran gurunya. Dengan kecerdasan, keluasan ilmu, dan gaya penulisan yang mendalam namun menyentuh hati, Ibnul Qayyim tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama faqih dan teolog, tetapi juga sebagai ulama spiritual dan reformis yang memadukan antara akal dan hati, antara syariat dan hakikat.

Pemikiran Ibnul Qayyim hingga kini tetap menjadi rujukan bagi banyak kalangan, baik di dunia akademik maupun di berbagai gerakan pembaharuan Islam. Ia dikenal karena usahanya mengembalikan umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, sambil tetap menumbuhkan ruh keikhlasan dan cinta kepada Allah dalam praktik keagamaan.


Kehidupan dan Latar Belakang

Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub az-Zar‘i ad-Dimasyqi, dan julukannya “Ibnul Qayyim al-Jauziyyah” berasal dari jabatan ayahnya sebagai pengurus (qayyim) Madrasah al-Jauziyyah di Damaskus. Ia tumbuh dalam lingkungan ilmiah, mempelajari berbagai cabang ilmu: tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab, ushul fiqh, hingga tasawuf dan kedokteran.

Pertemuan dengan Ibnu Taimiyah menjadi titik balik dalam kehidupannya. Selama sekitar 16 tahun, ia belajar langsung dari sang guru dan mendampinginya, bahkan ikut merasakan penderitaan saat keduanya dipenjara karena pandangan keagamaan yang dianggap kontroversial oleh sebagian ulama dan penguasa. Namun dari pengalaman itulah lahir keteguhan dan kedalaman pemikiran Ibnul Qayyim.


Manhaj dan Ideologi Pemikiran Ibnul Qayyim

1. Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah

Sejalan dengan gurunya, Ibnul Qayyim menekankan bahwa sumber utama Islam adalah wahyu, bukan pendapat pribadi atau tradisi mazhab semata. Ia menolak taqlid buta, yaitu mengikuti pendapat ulama tanpa dalil. Bagi Ibnul Qayyim, seorang Muslim wajib berusaha memahami nash secara langsung berdasarkan kaidah bahasa dan konteks syariat. Prinsip ini tampak jelas dalam karya-karyanya seperti I‘lam al-Muwaqqi‘in dan Madarij as-Salikin.

Ia menulis:

“Sesungguhnya agama Allah tidak akan tegak kecuali di atas dua dasar: pertama, ikhlas dalam beribadah kepada Allah; kedua, ittiba‘ (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

2. Keseimbangan antara Akal dan Wahyu

Ibnul Qayyim tidak menolak akal, tetapi menempatkannya sebagai alat bantu untuk memahami wahyu, bukan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Dalam Miftah Dar as-Sa‘adah, ia menjelaskan bahwa akal yang sehat justru menuntun manusia untuk tunduk kepada nash yang sahih. Oleh karena itu, ia menolak filsafat Yunani dan logika teologis (kalam) yang menyeleweng dari makna teks.

Namun berbeda dengan sebagian tekstualis ekstrem, Ibnul Qayyim bersikap lebih lembut dan argumentatif. Ia berusaha mengharmonikan antara nash dan akal dengan gaya penjelasan yang rasional dan menyentuh.

3. Pemurnian Tauhid

Salah satu fokus utama Ibnul Qayyim adalah tauhid—menyembah Allah semata tanpa perantara. Ia membagi tauhid dalam aspek rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat, sebagaimana dijelaskan oleh gurunya. Namun ia memperluasnya dengan penjelasan ruhani: bahwa tauhid bukan sekadar teori, tetapi penghayatan batin yang menumbuhkan cinta, takut, dan harap hanya kepada Allah.

Dalam Madarij as-Salikin, ia menulis panjang tentang tahapan perjalanan spiritual (maqamat) menuju Allah, berdasarkan kitab Manazil as-Sa’irin karya al-Harawi, namun dengan koreksi sesuai prinsip Ahlus Sunnah. Dari sinilah tampak bahwa Ibnul Qayyim adalah ulama tasawuf yang rasional dan bersih dari bid‘ah.

4. Kritik terhadap Penyimpangan dan Bid‘ah

Ibnul Qayyim sangat keras terhadap segala bentuk penyimpangan dalam ibadah dan akidah, seperti pemujaan terhadap kubur, tawassul yang tidak syar‘i, atau praktik tasawuf yang bercampur filsafat. Ia menganggap hal-hal tersebut sebagai penghalang terbesar antara manusia dengan Allah. Namun dalam menyampaikan kritik, ia menggunakan gaya yang ilmiah, penuh kasih, dan berorientasi pada perbaikan (islah).

5. Hukum dan Kehidupan Sosial

Dalam bidang hukum Islam, Ibnul Qayyim dikenal luas melalui kitab I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin—sebuah ensiklopedia hukum yang menjelaskan peran ulama dan qadhi sebagai wakil Allah dalam menetapkan hukum. Ia menekankan prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam), seperti keadilan, kemaslahatan, dan rahmat. Bagi Ibnul Qayyim, syariat seluruhnya adalah keadilan dan rahmat, dan setiap hukum yang menimbulkan kezaliman berarti bukan bagian dari syariat.


Peranan Ibnul Qayyim dalam Dunia Islam Modern

Pemikiran Ibnul Qayyim memiliki pengaruh besar terhadap berbagai gerakan pembaharuan Islam dari abad ke-18 hingga masa kini. Bersama pemikiran gurunya, gagasannya menjadi fondasi bagi gerakan Salafiyah yang menyeru kembali kepada sumber Islam yang murni. Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip banyak dari karya Ibnul Qayyim, terutama dalam hal tauhid dan pemurnian ibadah.

Di dunia modern, pemikiran rasional dan spiritual Ibnul Qayyim juga menginspirasi banyak ulama reformis seperti Rashid Rida, Muhammad Abduh, Hasan al-Banna, bahkan pemikir kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dalam konteks maqashid syariah. Mereka mengagumi kemampuan Ibnul Qayyim dalam menyatukan hukum dan akhlak, logika dan cinta, serta syariat dan hakikat.

Selain itu, gaya penulisan Ibnul Qayyim yang puitis dan reflektif menjadikan karyanya populer di kalangan pembaca modern. Kitab seperti Zad al-Ma‘ad dan al-Fawaid banyak diterjemahkan dan dipelajari di berbagai lembaga Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Pemikirannya tentang pendidikan jiwa dan tazkiyah an-nafs juga menjadi dasar bagi gerakan tarbiyah dan dakwah kontemporer.


Relevansi Pemikirannya di Masa Kini

Di tengah krisis spiritual dan moral umat Islam modern, pemikiran Ibnul Qayyim tampil relevan dan inspiratif. Ia mengajarkan bahwa Islam bukan hanya kumpulan hukum, tetapi jalan hidup yang menghidupkan hati. Ibadah tidak bermakna tanpa cinta kepada Allah, dan ilmu tidak bernilai tanpa keikhlasan. Ia juga mengingatkan bahwa reformasi sejati dimulai dari pembenahan akidah, pembersihan hati, dan keadilan sosial.

Pendekatan moderat Ibnul Qayyim—yang menggabungkan ketegasan dalam akidah dengan kelembutan dalam dakwah—menjadi teladan penting bagi umat Islam saat ini. Ia menunjukkan bahwa pemurnian agama tidak harus kaku, dan tasawuf tidak harus menyimpang.


Penutup

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah adalah ulama besar yang berhasil memadukan rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas dalam satu kesatuan yang harmonis. Melalui karya-karyanya yang abadi, ia membimbing umat menuju pemahaman Islam yang murni, cerdas, dan penuh cinta. Di tengah tantangan zaman modern—materialisme, sekularisme, dan krisis nilai—manhaj Ibnul Qayyim tetap menjadi sumber inspirasi: menyucikan hati, menegakkan ilmu, dan menghidupkan kembali semangat keikhlasan dalam beragama.

Post Comment

KOMBATPOL by DAWUD