Pemikiran, Manhaj, dan Pengaruh Ibnu Taimiyah dalam Dunia Islam Modern
Nama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Taimiyah atau lebih dikenal sebagai Ibnu Taimiyah (661–728 H / 1263–1328 M) merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah intelektual Islam. Ia hidup pada masa penuh gejolak—saat dunia Islam menghadapi serangan Mongol dan kemerosotan moral di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dalam kondisi seperti itu, Ibnu Taimiyah tampil sebagai seorang mujaddid (pembaharu) yang menyeru umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kemurniannya, serta menolak berbagai bentuk penyimpangan dalam akidah, ibadah, maupun pemikiran.
Pemikiran Ibnu Taimiyah hingga kini tetap menjadi salah satu arus kuat dalam wacana keislaman. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama fiqih dan hadis, tetapi juga sebagai pemikir sistematis, reformis, dan pembela ortodoksi Islam yang sangat berpengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern seperti Salafiyah, Wahabiyah, dan sebagian arus reformis abad ke-20.
Latar Belakang dan Perjalanan Intelektual
Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran, sebuah kota di wilayah Syam (sekarang Suriah), dalam keluarga ulama besar dari mazhab Hanbali. Ketika masih muda, keluarganya pindah ke Damaskus karena invasi Mongol. Di kota ini, Ibnu Taimiyah tumbuh dan belajar dari banyak ulama terkenal. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu Islam: tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab, teologi (aqidah), hingga filsafat dan logika Yunani.
Kecerdasannya luar biasa. Diriwayatkan bahwa ia mulai menghafal al-Qur’an pada usia dini, menulis kitab sejak remaja, dan sudah menjadi guru besar di Madrasah Hanbaliyah Damaskus sebelum berusia 30 tahun. Namun, ketegasannya dalam membela kebenaran sering membuatnya berhadapan dengan penguasa dan sebagian ulama lain yang tidak sepaham. Ia beberapa kali dipenjara, namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya menulis. Banyak karya monumentalnya justru lahir dari balik jeruji besi, seperti Majmū‘ al-Fatāwā, Dar’ Ta‘ārud al-‘Aql wa an-Naql, dan al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.
Manhaj dan Ideologi Pemikiran Ibnu Taimiyah
1. Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
Prinsip utama pemikiran Ibnu Taimiyah adalah tajdid (pembaharuan) melalui ruju‘ ila al-nushus — kembali kepada teks-teks otentik al-Qur’an dan hadis sebagaimana dipahami oleh as-salaf ash-shalih (generasi sahabat, tabi‘in, dan tabi‘ut tabi‘in). Ia menolak taklid buta kepada mazhab, walaupun ia sendiri mengikuti Hanbali dalam banyak hal. Bagi Ibnu Taimiyah, kebenaran bukan monopoli mazhab, melainkan bersumber langsung dari dalil yang sahih.
2. Penolakan terhadap Bid‘ah dan Khurafat
Salah satu fokus utama perjuangannya adalah melawan berbagai bentuk bid‘ah (inovasi dalam agama), taqlid, dan praktek mistik yang menyimpang. Ia menolak pengkultusan wali, tawassul berlebihan kepada kubur, serta praktik sufi yang bercampur dengan filsafat atau kepercayaan non-Islami. Namun, ia tidak menolak tasawuf secara keseluruhan; ia justru menghormati para sufi awal seperti al-Junaid dan Sahl at-Tustari yang tetap berpegang pada syariat.
3. Rasionalisme dalam Batas Wahyu
Walaupun dikenal tekstualis, Ibnu Taimiyah bukan anti-akal. Ia menempatkan akal sebagai alat bantu untuk memahami wahyu, bukan sebagai sumber kebenaran independen. Dalam karya besarnya Dar’ Ta‘ārud al-‘Aql wa an-Naql, ia mengkritik keras para filosof dan teolog (mutakallimun) yang mendahulukan logika atas dalil naqli. Menurutnya, akal yang benar tidak akan bertentangan dengan wahyu yang sahih.
4. Konsep Tauhid yang Murni
Ibnu Taimiyah memperjelas konsep tauhid dalam tiga aspek:
-
Tauhid Rububiyah: mengakui Allah sebagai satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam.
-
Tauhid Uluhiyah: hanya Allah yang berhak disembah.
-
Tauhid Asma wa Sifat: menetapkan nama dan sifat Allah sebagaimana disebut dalam al-Qur’an dan hadis tanpa tahrif (mengubah), ta‘thil (meniadakan), takyif (menentukan bentuk), atau tamtsil (menyerupakan).
Pembagian ini kelak menjadi dasar utama teologi dalam gerakan Salafi modern.
5. Jihad dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam konteks sosial-politik, Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya jihad bukan hanya dalam arti peperangan, tetapi juga melawan kezaliman, kebodohan, dan penyimpangan moral. Ia juga menulis tentang kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan bahwa umat tidak boleh diam terhadap penguasa zalim. Gagasannya inilah yang kelak memengaruhi banyak gerakan perlawanan Islam di masa-masa berikutnya.
Pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap Dunia Islam Modern
Pemikiran Ibnu Taimiyah memiliki pengaruh yang luas dan panjang hingga era modern. Pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab mengadopsi sebagian besar pemikiran Ibnu Taimiyah dalam gerakan Wahabiyah, yang menyeru pemurnian tauhid dan pemberantasan syirik. Gerakan ini kemudian menjadi fondasi ideologis bagi berdirinya Kerajaan Arab Saudi.
Di abad ke-20, tokoh-tokoh reformis seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Rida juga banyak mengutip dan mengembangkan gagasan Ibnu Taimiyah tentang rasionalitas dalam batas wahyu dan perlunya ijtihad. Dalam dunia kontemporer, manhaj salafi yang mengutamakan pemahaman literal terhadap nash dan menolak bid‘ah, menjadi arus besar di berbagai negara, baik di Timur Tengah, Afrika, maupun Asia Tenggara.
Selain itu, pemikiran politik Ibnu Taimiyah tentang hubungan antara agama dan negara, konsep keadilan, serta tanggung jawab penguasa terhadap rakyat turut memengaruhi diskursus Islam politik modern. Dalam konteks jihad dan perlawanan, beberapa kelompok Islamis juga mengutip fatwanya tentang melawan penguasa yang tidak berhukum dengan syariat, meski interpretasi mereka sering kali berlebihan dan tidak sesuai dengan konteks asli pemikirannya.
Penilaian dan Relevansi di Masa Kini
Ibnu Taimiyah sering dipandang kontroversial: oleh sebagian kalangan dianggap terlalu keras dan literal, namun oleh yang lain dipuji sebagai pembaharu sejati. Meski begitu, tak dapat disangkal bahwa pemikirannya memberi kontribusi besar terhadap pembentukan identitas intelektual Islam modern. Seruannya untuk berpikir kritis, kembali ke sumber asli ajaran Islam, serta membersihkan agama dari penyimpangan tetap relevan hingga kini.
Dalam era modern yang diwarnai pluralitas ideologi dan pengaruh sekularisme, ajakan Ibnu Taimiyah untuk menyeimbangkan akal dan wahyu, spiritualitas dan syariat, menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk tetap berpegang pada prinsip, tanpa menutup diri dari kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Penutup
Ibnu Taimiyah bukan sekadar ulama masa lalu; ia adalah sosok yang melampaui zamannya. Pemikirannya yang tajam, keberaniannya menghadapi kekuasaan, dan dedikasinya terhadap kemurnian ajaran Islam menjadikannya simbol intelektual dan spiritual yang abadi. Di tengah tantangan modernitas dan krisis identitas keagamaan, manhaj Ibnu Taimiyah mengingatkan umat Islam akan pentingnya kembali kepada dasar: al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang jernih, rasional, dan seimbang.


Post Comment